Cerita dewasa - Gadis Salon Plus Plus - Aku adalah seorang laki laki normal pada umumnya. Dan saat ini sedang bekerja disalah satu perusahaan terkemukan di daerah Surabaya. di tempat ini aku termasuk seorang perantauan karena asalku sendiri dari Jogja. Ditempat ini aku tinggal disebuah rumah kontrakan yang tidak jauh dari tempat kerjaku. Setiap hari, aku berangkat kerja hanya dengan berjalan kaki karena hanya beberapa puluh meter saja dari tempat aku mengiontrak sebuah rumah.
Banyak teman kantorku yang sering bilang bahwa di daerah tempat tinggal baruku ini terdapat banyak salon Plus Plus dimana selain menyediakan jasa layaknya salon bias, juga menyediakan gadis gadis untuk diajak kencan. Hal inilah yang membuat aku penasaran dan mulai mencari cari informasi tentang salon yang seperti teman temanku bilang.
Namun, mereka hanya mengatakan beberapa ciri ciri salon plus plus tersebut dn tidak menunjukkan dimana letak atau tempatnya. Karena aku penasaran, akupun dengan berani mencobanya sendiri dan pada waktu itu memang rambutku juga sudah waktunya untuk dipotong.
Pada hari Sabtu yang telah kami sepakati dengan teman dia, dan kami janjian ketemu di salon itu jam 13:00. Aku pun meluncur ke salon itu untuk potong rambut, sejenak aku melirik jam tangan, terlihat jam satu kurang beberapa menit saja dan kuputuskan untuk masuk. Seperti halnya salon-salon biasa, suasana salon ini normal tidak ada yang luar biasa dari tata ruangnya serta kegiatannya. Pada pertama kali aku masuk, aku langsung menuju ke tempat meja reception dan di sana aku mengatakan niat untuk potong rambut. Dikatakan oleh wanita cantik yang duduk di balik meja reception agar aku menunggu sebentar sebab sedang sibuk semua. Sambil menunggu, aku mencoba untuk melihat-lihat sekitar siapa tahu ada temanku, tapi tidak terlihat ada temanku di antara semua orang tersebut.
Mungkin dia belum datang, pikirku. Kuakui bahwa hampir semua wanita yang bekerja di salon ini cantik-cantik dan putih dengan postur tubuh yang proporsional dan aduhai. Kalau boleh memperkirakan umur mereka, mereka berumur sekitar 20-30 tahun. Aku jadi teringat dengan omongan temanku, Hanni, bahwa mereka bisa diajak kencan. Namun aku sendiri masih ragu sebab salon ini benar-benar seperti salon pada umumnya.
Setelah beberapa menit menunggu, aku ditegur oleh reception bahwa aku sudah dapat potong rambut sambil menunjuk ke salah satu tempat yang kosong. Aku pun menuju ke arah yang ditentukan. Beberapa detik kemudian seorang wanita muda nan cantik menugur sambil memegang rambutku. “Mas, rambutnya mau dimodel apa?” katanya sambil melihatku lewat cermin dan tetap memegang rambutku yang sudah agak panjang. “Mmm… dirapi’in aja Mbak!” kataku pendek. Lalu seperti halnya di tempat cukur rambut pada umumnya, aku pun diberi penutup pada seluruh tubuhku untuk menghindari potongan- potongan rambut.
Beberapa menit pertama begitu kaku dan dingin. Aku yang diam saja dan dia sibuk mulai motong rambutku. Sangat tidak enak rasanya dan aku mencoba untuk mencairkan suasana. “Mbak… udah lama kerja di sini?” tanyaku. “Kira-kira sudah enam bulan, Mas… ngomong-ngomong situ baru sekali ya potong di sini?” sambungnya sambil tetap memotong rambut. “Iya… kemarenan saya lewat jalan ini, terus kok ada salon, ya udah dech, saya potong di sini. Ini juga janjian sama temen, tapi mana ya kok belum datang?” jawabku sedikit berbohong. “Ooo..” jawabnya singkat dan berkesan cuek.
“Hei…” terdengar suara temanku sambil menepuk pundak. “Eh… elo baru dateng?” tanyaku. “Iya nih… tadi di bawah jembatan macet, mmm… gue potong dulu yach..” jawabnya sambil berlalu. Ngobrol punya ngobrol, akhirnya kami dekat, dan belakangan aku tahu Rosa namanya, 22 tahun, dia kost di daerah situ juga, dia orang Medan, dia enam bersaudara dan dia anak kedua. Kami pun sepakat untuk janjian ketemu di luar pada hari Senin. Untuk pembaca ketahui setiap hari Senin, salon ini tutup.
Setelah aku selesai, sambil memberikan tips sekedarnya, aku menanyakan apakah ia mau aku ajak makan. Dia menyanggupi dan ia menulis pada selembar secarik kertas kecil nomor teleponnya. Sambil menunggu Hanni, aku ngobrol dengan Stella, aku sempat diperkenalkan oleh beberapa temannya yang bernama Nita, Reni dan Yani. Ketiganya cantik-cantik tapi Rosa tidak kalah cantik dengan mereka baik itu parasnya juga tubuhnya.
Nita, ia berambut agak panjang dan pada beberapa bagian rambutnya dicat kuning. Reni, ia agak pendek, tatapannya agak misterius, dadanya sebesar Rosa namun karena postur tubuhnya yang agak pendek. Sedangkan Yani, ia tampak sangat merawat tubuhnya, ia begitu mempesona, lingkar pinggangnya yang sangat ideal dengan tinggi badannya, pantatnya dan dadanya-pun sangat proporsional.
Akhirnya kami ketemu pada hari Senin dan di tempat yang sudah disepakati. Setelah makan siang, kami nonton bioskop, filmnya Jennifer Lopez, The Cell. Wah, cakep sekali ini orang, batinku mengagumi kecantikan Rosa yang waktu itu mengenakan kaos ketat berwarna biru muda ditambah dengan rompi yang dikancingkan dan dipadu dengan celana jeans ketat serta sandal yang tebal. Kami serius mengikuti alur cerita film itu, hingga akhirnya semua penonton dikagetkan oleh suatu adegan.
Rosa tampak kaget, terlihat dari bergetarnya tubuh dia. Entah ada setan apa, secara reflek aku memegang tangan kanannya. Lama sekali aku memegang tangannya dengan sesekali meremasnya dan ia diam saja. Singkat cerita, aku mengantarkan dia pulang ke kostnya, di tengah jalan Rosa memohon kepadaku untuk tidak langsung pulang tapi putar-putar dulu. Kukabulkan permintaannya karena aku sendiri sedang bebas, dan kuputuskan untuk naik tol dan putar-putar kota Surabaya.
Sambil menikmati musik, kami saling berdiam diri, hingga akhirnya Rosa mengatakan, “Mmm… Don, aku mau ngomong sesuatu sama kamu, memang semua ini terlalu cepat, Don… aku suka sama kamu…” katanya pelan tapi pasti. Seperti disambar petir mendengar kata-katanya, dan secara reflek aku menengok ke kiri melihat dia, tampaknya dia serius dengan apa yang barusan ia katakan. Dia menatap tajam. “Apa kamu sudah yakin dengan omonganmu yang barusan, Ros?” tanyaku sambil kembali konsentrasi ke jalan. “Aku nggak tau kenapa bahwa aku merasa kamu nggak kayak laki-laki yang pernah aku kenal, kamu baik, dan kayaknya perhatian and care. Aku nggak mau kalo setelah aku pulang ini, kita nggak bisa ketemu lagi, Don. Aku nggak mau kehilangan kamu,” jawabnya panjang lebar.
Seperti disambra petir, bayanganku sudah mulai kearah sana dan menikmati tubuh gadis ini. “Mmm… kalo aku boleh jujur sich, aku juga suka sama kamu, Ros… tapi kamu mau khan kalo kita nggak pacaran dulu?” tegasku. “Ok, kalo itu mau kamu, mmm… boleh nggak aku ’sun’ kamu, bukti bahwa aku nggak main-main sama omonganku yang barusan?” tanyanya. Wah rasanya seperti mau mati, jantungku mau copot, nafas jadi sesak. Edan ini anak, seperti benar-benar! Dan untuk pembaca cerita dewasa ketahui, bahwa ini adalah pengalaman pertamaku dimana sebelumnya aku belum pernah berkencan atau berhubungan badan kecuali dengan pacarku yang dulu.
Sekali lagi, aku menengok ke kiri melihat wajahnya yang bulat dengan bola mata yang berwarna coklat, dia menatapku tajam dan serius sekali. “Sekarang?” tanyaku sambil menatap matanya, dan dia menganguk pelan. “OK, kamu boleh ’sun’ aku,” jawabku sambil kembali ke jalanan. Beberapa detik kemudian dia beranjak dari tempat duduknya dan mengambil posisi untuk memberi sebuah “sun” di pipi kiriku. Diberilah sebuah ciuman di pipi kiriku sambil memeluk. Lama sekali ia mencium dan dengan pelan sekali, Stella berbisik, “Don, aku suka sama kamu,” dan ia kembali mencium pipiku dan konsentrasiku buyar, sepertinya aku benar-benar sudah terbuai dengan perlakuan Stella, dan beberapa kendaraan yang melaluiku melihat ke arahku menembus kaca filmku yang hanya 50%.
Dengan bergegas aku mencoba memarkirkan mobil ku karena jalan Tol yang kulalui tadi sudah lewat. Tangan kiriku mulai mengelus-elus badannya dan mengarah ke bawah. Aku sudah benar- benar terangsang. Rosa tampak sedikit tegang dan aku sendiri juga sama. Tanganku mulai semakin berani dan masuk kebalik kaos yang diakenakan. Namun, dengan lebut tangan kanan rosa menahan tanganku dan sambil terdengar lirih dia berkata, "Jangan Don." Penolakan Rosa ini tak membuatku berhenti dan aku terus mencoba dengan lebih lebut. Dan kali ini agaknya bukan lagi sebuah kata yang keluar dari mulut Rosa, namun sebuah Tamparan dipipiku.
Hal ini sangat membuatku kaget dan melepas pelukan Rosa.. Dengan sedikit bergetar badan Rosa, dia mengatakan.. "Don, Maaf.. Mungkin kamu salah Orang.. aku bukan wanita seperti itu. Aku bukan gadis salon yang seperti pada umumnya dibicarakan." Sontak dengan perasaan malu dan juga terkaget aku meminta maaf kepada Rosa. Maafinn aku Ros, aku benar benar tidak tahu.. Aku sendiri mulai terbuai dan maafkan atas kelakuanku tadi.. Iya Don, aku tau itu, memang berat kerja di Salon Don, persepsi orang yang membuat pekerjaai ini semakin berat. Namun, aku ga bisa berbuat banyak, karena untuk mencari pekerjaan lain sekarang ini susah" Jawab Rosa sambil meneteskan air matanya.
Akupun semakin merasa bersalah atas apa yang aku lihat didapanku ini. Sambil mengambil tisu di dasbord Mobilku, aku mencoba membersihkan air mata Rosa ini. Dan Rosa pun hanya terdiam dan dengan perlahan menyandarkan tubuhnya ke dadaku. terdengar lirih dia berkata, "Aku akan serahkan semuanya kepadamu Don, tapi bukan sekarang.. Nanti jika kita sudah resmi sebagai pasangan".. "Iya Ros, sekali lagi aku minta maaf": hanya ini yang bisa aku katakan. Dan kami pun melanjutkan perjalanan untuk pulang.
Ini adalah pengalaman yang tidak pernah aku lupakan dimana aku kira Rosa adalah gadis Salon Plus Plus namun bukan sebuah pelayanan Plus Plus yang aku dapatkan, tapi Plus sebuah Tamparan yang mendarat dipipiku. Sesampainya ditempat Kost Rosa, akupun segera meluncur untuk kembali kekontrakanku. Dalam hati aku masih dihinggapi perasaan yang bercampur aduk. Namun, kisah ini tidak berhenti sampai disini, karena seminggu setelah kejadian itu, aku masih sering ketemu dengan Rosa dan akhirnya kami pun jadian. Cerita Dewasa Selanjutnya.
sabar aja mas bro tamparannya kan tamparan kasih sayang. . . . . . .
BalasHapus